July 7, 2010

Apa Kata Al Qur'an Tentang.. Beberapa Perkara dalam Kehidupan Kita

Apa Kata Al Qur'an Tentang...
Beberapa Perkara dalam Kehidupan Kita


Penyusun: Drs H Artomo, apt.MBA

Tebal Halaman: x + 362 hal
Terbit: Juni 2010
Harga: Rp 52.000
ISBN: 978-602-95205-1-4

“Sungguh, Kami telah mendapatkan Kitab (Al Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (7:52)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi dan kebutuhan untuk memperoleh acuan yang benar, agar apa yang kita kerjakan dapat sesuai dengan kaidah-kaidah agama.

Buku yang mencakup sekitar 99 surat dari 114 surat, serta 1638 ayat dari 6236 yang ada di kitab Al Qur’an ini berupaya membuat “jalan pintas” atas surat-surat dan ayat-ayat dari kitab suci Al Qur’an. Ayat-ayat yang dihimpun oleh penyusun memberi pengarahan hidup, terutama menyangkut perkara:

Pernikahan
Keluarga

Kematian

Kaidah/Rukun Islam
Akhlak baik dan buruk

Lingkungan Pekerjaan

Buku ini diharapkan mempermudah pembaca untuk menemukan dan memahami ayat-ayat Al Qur’an sebagai acuan kebutuhan dalam kehidupan. Mereka yang memiliki keterbatasan waktu untuk memahami dan mencari petunjuk hidup berdasarkan Al Qur’an akan menemukan buku ini sangat bermanfaat.

May 7, 2010

Pendahuluan Buku BTJ

1

BEKERJA DI KPU



Pada hari Selasa tanggal 24 April 2001, bertempat di Istana Negara, Presiden AbdurrahmanWahid melantik saya bersama sepuluh teman lainnya menjadi Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan pelantikan ini berarti kami sudah resmi menjadi Anggota KPU yang akan bertugas menyelenggarakan Pemilu 2004.
Pencalonan

Ada suatu proses yang cukup panjang sebelum Presiden Abdurrahman Wahid dapat melantik para anggota KPU tersebut. Sebelumnya, Pemerintah atau tepatnya Departemen Dalam Negeri telah mengumpulkan lebih kurang 60 nama anggota masyarakat untuk diproses menjadi calon Anggota KPU.

Selanjutnya Pemerintah menyaring nama-nama tersebut menjadi 22 nama dan kemudian, pada tanggal 4 September 2000, diajukan kepada DPR. Dari ke-22 nama tersebut DPR, melalui rapat pleno Komisi II pada tanggal 9 Maret 2001, memilih sebelas orang untuk ditetapkan sebagai Anggota KPU.

Saya berhasil masuk ke dalam kelompok 22 orang calon yang diajukan ke DPR. Padahal, menurut bocoran yang saya peroleh, tidak mudah untuk bisa masuk ke dalam kelompok itu, sebab ada pertimbangan-pertimbangan politis dan subyektif. Pernah saya dengar, ketika Mendagri Suryadi Sudirja menyerahkan daftar 22 calon tersebut kepada Gus Dur, ada seorang calon yang namanya langsung kena coret.

Saya tidak tahu pasti siapa namanya. Namun saya pernah mendengar seorang pejabat Depdagri menyebut-nyebut nama Dr. Barita Siregar dari Universitas Langlangbuana, Bandung. Ketika saya konfirmasikan hal ini kepada almarhum Barita, yang saya kenal baik, dia juga mengatakan bahwa dia pernah mendengar informasi semacam itu.

Kabar lain lagi menyebutkan bahwa nama yang dicoret itu diganti dengan A Rahman Tolleng. Kalangan yang percaya kepada informasi seperti ini menyebutkan masuknya Hendardi dari LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) ke dalam kelompok 22 itu saja belum dirasa cukup.

Malahan ada kabar burung yang mengatakan bahwa Rahman Tolleng sudah dipersiapkan untuk menjadi Ketua KPU nantinya.

Saya tidak tahu sampai berapa jauh kabar ini dapat dipercayai. Namanya juga kabar burung. Namun, setidak-tidaknya itulah informasi yang beredar di kalangan yang dekat dengan sumber di Departemen Dalam Negeri.

Yang jelas, Rahman Tolleng dan Hendardi kemudian mengundurkan diri. Karena itu hanya 20 orang calon saja yang di-fit and proper test oleh DPR. Konon kabarnya, lagi-lagi kabarnya, Rahman Tolleng mengundurkan diri dari pencalonan, karena tidak mau ‘diuji’ oleh DPR.


Tes dan Hasilnya

Saya juga pernah mendengar bahwa Prof. Dr. Maswadi Rauf, pengamat politik dari UI, sudah masuk daftar 60 orang yang diusulkan itu, namun kemudian gagal masuk ke dalam kelompok 22 calon. Ketika ada seorang anggota Panitia Seleksi mempertanyakan hal itu, Mendagri Suryadi berkomentar:

“Kan sudah ada satu orang wakil dari Sumatera Barat, Profesor Nazaruddin”.

Agaknya Suryadi waktu itu mengira saya dan Maswadi adalah orang Padang. Seandainya ketika itu ada yang memberi informasi kepada Suryadi bahwa saya ini berasal dari Aceh dan Maswadi dari Riau, barangkali nama Maswadi sudah masuk dalam daftar yang diusulkan kepada DPR. Ya, seandainya.

Sesungguhnya Maswadi berhak atau memenuhi syarat untuk menjadi anggota KPU. Alasan saya untuk ini bukan hanya karena dia mempunyai pengetahuan tentang pemilihan umum, melainkan karena dia juga merupakan Anggota Tim Asistensi Pembahasan Rancangan Perubahan Undang-undang Bidang Politik bersama-sama dengan saya, Dr. Chusnul Mar’iyah, Prof. Dr. Aloysius Ramlan Surbakti dan Dr. Rusadi Kantaprawira.

Ternyata dari kelima kami, hanya dia seorang yang tidak dicalonkan menjadi anggota KPU.

Walaupun saya sering bertemu dengan Maswadi di dalam rapat-rapat tim tersebut di Departemen Dalam Negeri, tetapi kami tidak pernah memperbincangkan hal itu. Saya sendiri pun tidak tahu kalau saya dicalonkan. Pencalonan ini baru saya ketahui ketika saya diminta untuk menyampaikan daftar riwayat hidup ke Depdagri.

Uraian di atas menyiratkan bahwa penciutan 20 calon dari Pemerintah menjadi 11 orang di DPR dilakukan melalui fit and proper test. Menurut saya, ini merupakan suatu tes yang aneh.

Ya, memang aneh, sebab berbeda dengan tes yang lazim dilakukan di sekolah atau di kampus. Dalam tes ini, hasilnya tidak diperoleh berdasarkan penilaian atas kemampuan si calon di dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para anggota Komisi II DPR. Yang lebih menentukan adalah faktor like and dislike terhadap seseorang calon.

Score atau nilai sama sekali tidak diberikan berdasarkan kepintaran atau pengetahuan seorang calon tentang pemilihan umum. Jadi kalau seorang calon memperoleh skor tertinggi atau katakanlah menjadi ranking pertama, sama sekali tidak berarti bahwa dialah yang paling pintar atau yang paling baik pengetahuannya tentang pemilihan umum atau demokrasi, dalam peni-laian para anggota DPR yang melakukan tes tersebut.

Bisa saja pendapat saya ini ditentang oleh para anggota DPR pada umumnya, termasuk dari luar Komisi II. Saya kira mereka akan mengatakan: “Ini bukan kampus. Ini DPR, Bung. Di sini politik yang bicara”.

Sah-sah saja pendapat seperti itu. Namun sebelumnya harus dijelaskan agar masyarakat mengetahui bagaimana cara penilaiannya. Biar fair kepada orang yang diuji. Sebab, menurut yang saya alami, yang diuji oleh mereka adalah ‘pengetahuan’ seseorang. Akan tetapi output dari ujian tersebut bukanlah hasil penilaian terhadap ‘pengetahuan’ itu, melainkan persepsi politik si penguji.

Dalam ‘ujian’ itu saya keluar sebagai ranking ke-6 dari sebelas calon, dengan dukungan 28 dari 40 anggota Komisi II yang ikut memilih. Di atas saya masih ada Mulyana W Kusumah (39 suara), Aloysius Ramlan Surbakti (38 suara), Daan Dimara (36 suara), Rusadi Kantaprawira (35 suara) dan Imam Prasodjo (34 suara). Di bawah saya adalah Anas Urbaningrum (26 suara), Chusnul Mar’iyah (25 suara), Mudji Sutrisno (25 suara), Hamid Awaludin (21 suara), dan Valina Singka Subekti (20 suara).

Ketika itu ada dua nama yang menempati urutan ke-11, yaitu Valina dan Komaruddin Hidayat. Oleh karena itu keduanya dites ulang yang dimenangkan oleh Valina. Konon kabarnya, Ko-maruddin dikalahkan terhadap seorang calon perempuan.

Di atas sudah saya katakan bahwa score atau ranking yang diperoleh tidak mencerminkan kepintaran atau pengetahuan seorang calon. Ketika diberitahukan bahwa saya lulus dan berada pada ranking keenam, saya merasa sedih sekali.

Bagaimana tidak sedih. Saya ini kan seorang Guru Besar Ilmu Politik, masak bisa dikalahkan dengan telak dalam tes ten-tang pemilihan umum dan demokrasi oleh Mulyana dan Daan Dimara yang bukan guru besar dan juga bukan orang yang mem-pelajari ilmu politik.

Untung saja ranking Anas Urbaningrum yang bekas murid saya di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI berada di bawah saya. Kalau tidak, alangkah malunya saya.

Sikap PDI-P.

Tak lama setelah ‘uji kepatutan dan kelayakan’ itu secara kebetulan saya bertemu dengan mendiang Profesor Manase Malo, yang juga anggota Komisi II DPR, di suatu pesta perkawinan.

“Pak Manase, bagaimana ceritanya sampai saya berada di urutan keenam?”.

“Bagaimana tidak ranking enam, Pak Nazar itu jatuhnya kan di PDI-P. Dari sekian banyak anggota PDI-P di Komisi II, hanya Profesor Sahetapy saja yang memberikan suara ke Pak Nazar. Sahetapy memilih Pak Nazar itu pun karena saya promo-sikan”, kata dia.

“Oh, begitu”, kata saya baru mengerti, “jadi yang dinilai bukan pengetahuannya, melainkan disukai tidaknya seorang calon oleh anggota DPR”.

Dia membenarkan.

Jadi, karena saya tidak didukung oleh salah satu fraksi terbesar, maka tidak usah heran kalau ranking saya rendah. Syukur, saya masih bisa lolos.

Setelah mendengar penjelasan Manase itu, saya tidak sedih lagi. Melainkan bingung. Sekarang, siapa yang harus malu? Apakah saya, ataukah yang melakukan pengujian itu?

Kata orang-orang saya bisa lulus dari tes tersebut ter-utama berkat dukungan fraksi-fraksi Partai Golkar, PPP, PAN dan TNI/Polri. Tentu saja ditambah dengan dukungan beberapa partai kecil, seperti partainya Manase Malo, PDKB.

Harus saya akui bahwa waktu itu selaku seorang pengamat politik saya memang sangat tidak populer di kalangan para politisi PDI-P. Hal ini karena saya selalu mengkritik partai tersebut dan ketuanya, Megawati Soekarnoputri.

Memang, sebagai pengamat politik, pendapat saya sering dianggap oleh orang-orang PDI-P sebagai anti-partai mereka. Selain itu saya juga dinilai sebagai seorang yang anti-Soekarno.

Pernah suatu kali pada awal 1994 saya diundang makan malam oleh sejumlah tokoh PDI-P. Dalam makan malam di sebuah rumah di Jalan Birah I, Kebayoran Baru itu, hadir antara lain Haryanto Taslam, Alex Litaay dan Angelina Pattiasina. Mereka ‘mengeroyok’ saya tentang sikap saya terhadap PDI-P dan Soekarno.

Saya katakan kepada mereka, bahwa sama sekali tidak beralasan untuk mengatakan bahwa saya ini seorang yang anti-Soekarno ataupun anti-PDI-P. Sebab, saya hanya menjalankan profesi sebagai pengamat politik dengan nalar ilmiah, bukan nalar politik.

Saya katakan juga bahwa saya ini bukan seorang peng-amat yang bisanya hanya mengikuti mainstream pendapat masyarakat, biar populer atau diterima oleh semua golongan dalam masyarakat. Menurut saya, pengamat seperti itu justru tidak ada gunanya, malah merugikan masyarakat. Mereka tidak ada man-faatnya buat masyarakat, sebab mereka tidak mengasah otak masyarakat, sehingga tidak memberi sesuatu sumbangan bagi perkembangan bangsa.

Meski diskusi tersebut berlangsung sampai larut malam, dengan penjelasan-penjelasan yang saya berikan, saya tahu bahwa saya tidak berhasil meyakinkan mereka tentang siapa diri saya yang sebenarnya. Ya, saya masih belum juga mampu menghapus citra saya di kalangan politisi PDI-P sebagai orang yang anti-PDI-P atau anti-Soekarno. Barangkali juga citra saya itu tidak akan pernah terhapuskan.

Sebenarnya sikap politisi PDI-P yang tidak menyukai saya di dalam fit and proper test itu bukanlah peristiwa pertama yang saya alami. Konon pada akhir tahun 2000 saya juga dijegal oleh Fraksi PDI-P Badan Pekerja MPR. Waktu itu Badan Pekerja MPR hendak membentuk Tim Ahli yang akan mengamendemen UUD 1945. Tim Ahli yang beranggotakan 30 orang itu terdiri atas para pakar hukum, politik, dan ekonomi.

Kalau saya tidak salah ingat, untuk keperluan itu Badan Pekerja MPR mencalonkan tiga orang pakar ilmu politik dari UI, yaitu saya sendiri, Maswadi dan Chusnul. Menurut bocoran yang saya peroleh ketika itu, saya dan Chusnul ditolak habis-habisan oleh Fraksi PDI-P.

Namun saya berhasil ‘lolos dari lubang jarum’ berkat dukungan dari banyak fraksi lainnya, sementara Chusnul terpaksa menelan pil pahit politik. Kata orang, selain oleh PDI-P, Chusnul juga ditolak oleh anggota MPR dari PAN.

Jadi, saya sudah berpengalaman dengan sikap para politisi PDI-P terhadap diri saya. Sebab itu saya sama sekali tidak merasa heran ketika Manase Malo memberitahukan bahwa hanya satu orang anggota Fraksi PDI-P di Komisi II yang mendukung saya. Namun begitu, ketika saya berhadapan dengan orang-orang PDI-P di DPR, kami sama-sama ‘bersandiwara’.

Yang namanya politik, yah, seperti itulah.

March 18, 2010

Peluncuran Buku Bukan Tanda Jasa


Pada tanggal 12 Maret 2010, telah diadakan acara peluncuran buku otobiografi Nazaruddin Sjamsuddin (Mantan Ketua KPU 2001-2006) yang berjudul Bukan Tanda Jasa. Acara peluncuran tersebut dilaksanakan di Kirana Room, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Dihadiri oleh para tokoh politik, para mantan anggota KPU, serta tamu-tamu undangan lainnya, dan media massa.

Acara tersebut dibuka oleh sambutan dari Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin sendiri selaku penulis. Ia menceritakan bahwa otobiografi tersebut ditulisnya selama sekitar 2 tahun ketika berada di tahanan.

Bertindak sebagai pembicara adalah dua tokoh intelektual, yaitu Prof. Dr. Ryaas Rasyid dan Prof. Dr. Bachtiar Aly. Ryaas Rasyid adalah mantan Menteri Negara Otonomi Daerah, sementara Bachtiar Aly adalah mantan Duta Besar RI untuk Mesir.

Bukan Tanda Jasa: sebuah otobiografi


Buku Bukan Tanda Jasa
Sebuah otobiografi Nazaruddin Sjamsuddin
(Mantan Ketua KPU 2001-2006)

Terbit: Cetakan 1: Maret 2010, Cetakan 2: Juli 2010
Tebal: 668 hlm


Harga: Rp 99.000



Buku ini menceritakan mengenai perjalanan hidupnya terutama seputar kisah-kisahnya selama memimpin Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berbagai pengalaman dijalaninya selama memimpin KPU, ditangkap oleh KPK, kehidupannya di penjara, sampai saat ia dibebaskan.

Karena penulis adalah mantan ketua KPU, maka porsi terbesar dari buku ini bercerita tentang seluk beluk penyelanggaraan Pemilu 2004, dan masalah-masalah politik yang berkaitan dengan fungsi KPU, yang belum diketahui oleh masyarakat selama ini, diungkapkannya secara lugas dalam otobiografi yang ditulis dengan gaya novel ini.

Buku Bukan Tanda Jasa bisa didapatkan di toko buku Gramedia, atau dengan menghubungi kami di 021-7991964, SMS ke 021-96016331 atau melalui e-mail ke enesce09@gmail.com.