February 25, 2011

Review 'Bukan Tanda Jasa' di Gatra

Hikmah Berwujud Karya Tulis

oleh Deni Muliya Barus

Buku otobiografi ini tidak sekadar bercerita tentang sejarah hidup seorang Nazaruddin Sjamsuddin yang sukses tapi terempas ke penjara. Melainkan juga menguak praktek permainan politik yang kejam dan kejanggalan hukum terkait kasus korupsi di KPU pada periodenya.

Pada hari Selasa tanggal 24 April 2001, bertempat di Istana Negara, Presiden Abdurrahman Wahid melantik saya bersama sepuluh teman lainnya menjadi anggota Komisi Pemi­lihan Umum (KPU). Dengan pelantikan ini, berarti kami sudah resmi menja­di anggota KPU yang akan bertugas menyelenggarakan Pemilu 2004" (halaman 3).

Begitulah Nazaruddin Sjamsuddin mulai bercerita dalam buku otobiografi­nya. Di awal bagian buku ini diceritakan bagaimana prosesi memasuki KPU. Mulai rekrutmen pencalonan hingga didaulat sebagai ketua. Rupanya perjalanan itu tidak sederhana, tapi dipenuhi dinamika yang jatuh-bangun. Kehadiran guru besar ilmu politik Universitas Indonesia ini di komisi itu diterima banyak pihak dan ditolak pula. Tapi ia tetap diakui sebagai pemimpin yang bukan otoriter.

Kepemimpinannya itu berbuah pada penyelenggaraan Pemilu 2004 yang terbilang sukses. Pengakuan ini datang tidak hanya dari dalam Indonesia, me­lainkan juga dari dunia internasional. Se­bab pemilu tahun itu berjalan demokratis dan relatif aman. Para legislator daerah hingga pusat pun bermunculan secara sah. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang ketika itu dimenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono "SBY" dan jusuf Kalla "JK".

Kinerja KPU di bawah komando pria kelahiran Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, 5 November 1944, itu banyak diakui berbagai kalangan sebagai prestasi yang luar biasa. Sanjungan dan pujian datang silih berganti. Namun kenyataan itu berlangsung hanya sesaat. Sebab, pada 20 Mei 2005, Nazar, demikian ia akrab disapa, ditetapkan sebagai tersangka. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menudingnya terlibat dugaan kasus korupsi di KPU.

Lalu, pada 14 Desember 2005, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhinya hukuman penjara tujuh tahun. Lebih rendah satu tahun setengah dari tuntutan jaksa. Nazar diharuskan membayar denda Rp 300 juta. Dalam putusan itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Nazar terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugi­kan keuangan negara Rp 5,03 milyar. Selain didenda, Nazar juga diperintahkan membayar uang pengganti Rp 5,03 milyar secara tanggung renteng dengan Ham­dani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU.

Kenyataan pahit itu membanting sanjungan dan pujian serta mengempas­kannya ke bumi. Nazar terlihat berpan­tang turutkan nestapa. Sebab ia yakin, bukankah Allah SWT menjanjikan bahwa di balik musibah ada hikmah yang tak ternilai, baik yang disadari maupun yang tak diketahui. Walaupun, manusia acap­kali tidak mensyukuri hikmah karunia­-Nya. Yang pasti, otobiografi setebal 668 halaman ini merupakan hikmah otentik. Itu semua tanpa disangka dan diduganya.

Hikmah berupa karya tulisan ini menarik dibaca lantaran mengungkap secara detail dan beraturan ujian yang menimpa Nazar. Dalam buku ini pula, banyak sekali peristiwa yang sebelumnya tidak terkuak oleh publik dan media.

Selagi publik ramai mendiskursus­kannya, ternyata banyak permainan po­litik kejam yang menghantam Nazar. Terutama fenomena kejanggalan hukum yang berlangsung di KPK dan pengadil­an. Nazar menyibaknya penuh naratif dan deskriptif. Tak terkecuali pengalaman hidup di balik di jeruji besi hingga men­jadi merdeka seperti sekarang. Meskipun, otobiografi memang bercampur dengan penilaian subjektif diri.

Sumber: majalah Gatra 2-8 September 2010

No comments:

Post a Comment