February 25, 2011

Review 'Bukan Tanda Jasa' di Harian Aceh

Oleh: Iskandar Norman

Nazaruddin Sjamsuddin tak menyangka pada peringatan hari kebangkitan nasional tahun 2005, ia ditahan atas tuduhan korupsi. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia itu pun harus mendekam dalam penjara, meski ia dinilai sukses menggelar pesta demokrasi lima tahunan di Indnesia (Pemilu).

Peristiwa itu digambarkan putra Bireuen itu dengan kata “Setelah dipuji, disanjung tinggi, lalu dibanting, dihempas ke bumi,” Nukilan itu ditulisnya dalam puisi sekaligus pengantar bukunya “Bukan Tanda Jasa, Sebuah Otobiografi”.

Buku setebal 668 halaman ini ditulis Nazaruddin Sjamsuddin selama mendekam dalam penjara, dieditoriali oleh putri ketiganya Sallika N Sjamsuddin. Meski sebuah otobiografi, buku terbitan Enesce ini mengungkap beragam peristiwa di lingkungan KPU yang dipimpin Nazaruddin Sjamsuddin kala itu.

Dalam enam bagian buku ini, Nazaruddin mengungkapkan berbagai peristiwa yang dialaminya di lembaga tersebut, mulai saat pertama dirinya bekerja di KPU sampai didakwa melakukan korupsi, dipenjara dan dibebaskan.

Nazaruddin seolah ingin bercerita bahawa ia korban dalam situasi waktu itu. Ia yang memimpin KPU di tengah konflik harus menuai beragam persoalan. Puncaknya pada gagasan penyediaan IT KPU yang kemudian menjeratnya dalam dakwaan korupsi.

Pada halaman 123 buku ini, Nazaruddin mengungkapkan bagaimana dirinya menjadi sasaran kecurigaan sejak Februari 2004. Gaya Nazaruddin dalam menulis buku ini dengan teknik bertutur dan dialog membuat buku ini enak dibaca.

Pada bagian lainnya di halaman 2003 pria kelahiran, Bireuen, 5 November 1944 ini dengan gamblang mengungkapkan upayanya melawan kelicikan di sekitar lingkungan KPU terkait pengadaan logistik pemilu dan pemangkasan harga. Bukan hanya politisi yang harus dihadapinya waktu itu, tapi juga serikat perusahaan percetakan yang memainkan harga cetak logistik pemilu.

Nazaruddin bagai diombang ambing antara kepentingan politisi tertentu dengan kepentingan ekonomi pengusaha percetakan. Namun ketegasannya untuk tetap berada di koridor membuat banyak orang yang tak suka padanya, hingga kemudian membuatnya terhempas dalam dakwaan korupsi. “Tapi berpantang turkan nestapa bukankan Allah menjanjikan bahwa di balik sesuatu musibah ada hikmahnya?” tulis Nazaruddin dalam buku tersebut.

Membaca buku Bukan Tanda Jasa ini, kita seakan dihadapkan pada berbagai peristiwa bangsa ini selama pergelaran Pemilu. Nazaruddin dengan runut dan rinci mengungkapkan ragam peristiwa tersebut, termasuk ragam peristiwa yang tak terekam media. Dengan gamblang ia mengungkap semua peristiwa yang dialaminya.

Bagian keempat buku ini merupakan bagian yang paling pelik dalam babakan kasus yang dialami Nazaruddin. Pada bagian ini ia bercerita bagaimana ia ditangkap KPK, dijebloskan ke rumah tahanan Polda Metro Jaya, diadili di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai divonis oleh Pengadilan Tipikor.

Namun Nazaruddin tak menerima begitu saja putusan itu, ia melakukan perlawanan dengan berbagai strategi, termasuk melalui permohonan uji materi dan masalah kekompakan di KPU sendiri.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh setiap kalangang baik mahasiswa, akademisi maupun politisi. Namun sebagai sebuah biografi, buku ini tetap saja memiliki kelemahan, karena hanya ditulis dari satu versi saja, yakni versinya Nazaruddin. Semoga buku ini bisa menjadi pancingan untuk memunculkan buku lainnya dalam menguak beragam peristiwa yang belum terungkap seputar pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

Judul buku : Bukan Tanda Jasa (Sebuah Otobiografi)
Penulis : Nazaruddin Sjamsuddin
Editor : Sallika N Sjamsuddin
Penerbit : Enesce
Tebal : xii 668 halaman
ISBN : 978-602-954205-0-7
Cetakan : II, Maret 2010

Sumber: blog harian aceh, 15 Agustus 2010

No comments:

Post a Comment